Belajar dari Desa: Ketika Sajadah Telah Tergelar

Belajar dari kesederhanaan orang desa. Orang desa banyak menyimpan nilai-nilai penting yang telah banyak dilupakan di masyarakat belakangan ini. Kisah di bawah ini merupakan kisah nyata yang terjadi di sebuah desa di jawa tengah yang dapat kita pelajari dan kita ambil nilai positifnya.


Kisah ini terjadi di sebuah mushola di sebuah perkampungan, mushola kecil yang selalu dijadikan tempat salat berjama’ah. Karena kecilnya mushola seringkali saat salat maghrib banyak orang yang tidak kebagian tempat sehingga harus pulang kembali dan salat di rumah masing-masing. 

Alkisah ada dua bapak-bapak yang sering adzan di mushola tersebut, bapak Bejo dan bapak Wardi. Bapak Bejo sering adzan saat dhuhur, ashar, maghrib, dan isya. Sedangkan bapak Warno-lah yang adzan di waktu subuh. Jarang ada orang lain yang adzan karena imam mushola tersebut kadang mengomentari orang yang adzan, apabila menurutnya adzannya kurang tepat. Pernah suatu ketika ada seorang pemuda umur belasan adzan maghrib, setelah selesai salat maghrib imam tersebut berkata,”mas-mas yang tadi adzan tolong besok jangan adzan lagi ya, karena adzannya tadi kurang tepat”. Imam tersebut cukup perfeksionis dengan perkara adzan (memang benar dan harus dilanjutkan). Oleh sebab itu jarang yang berani adzan kecuali bapak Bejo dan bapak Wardi tadi, yang sudah lama jam terbangnya dalam adzan sehingga tidak salah dalam pengucapannya.

Isya itu seperti isya yang biasanya, pukul 19.00 adzan dikumandangkan oleh bapak Bejo. Setelah bapak tersebut selesai mengumandangkan adzan biasanya akan dilanjutkan dengan salat sunah dua raka’at kemudian membaca puji-pujian sambil menunggu imam datang. Bapak Bejo memulai puji-pujian kepada Sang Pencipta, 5 menit, 10 menit, 15 menit bapak tersebut terus mengumandangkan puji-pujian. Hingga hampir 20 menit bapak tersebut berhenti berkumandang karena telah capek, namun sang Imam belum juga datang. Dimanakah gerangan Imam? Mungkin itu yang ada dalam benak pak Bejo. Telah menjadi kebiasaan kalau telah puji-pujian selama 15 menit dan Imam belum datang untuk memimpin salat berjama’ah maka akan digantikan posisinya oleh orang lain. Namun malam itu berbeda, walaupun pak Bejo telah lama puji-pujian sekitar 20 menit, tak ada yang menggantikan posisi Imam dikarenakan sajadah Imam masih tergelar di tempatnya yang menandakan Imam ada dan siap mengimami.

Bapak-bapak dan ibu-ibu jama’ah masjid saling berdiskusi apakah sebaiknya memulai salat dahulu atau menunggu kedatangan Imam. Kebanyakan jama’ah memutuskan menunggu pak Imam dikarenakan sajadahnya telah tergelar sejak sehabis maghrib tadi. Akhirnya dengan kurang semangat pak Bejo melanjutkan puji-pujiannya, menunggu dengan sabar kehadiran Imam. Setalah beberapa saat Imam tak kunjung datang. Diadakan pembicaraan lagi dengan para jama’ah kemanakah kiranya Imam berada. Kembali pak Bejo mengumandangkan puji-pujian hingga akhirnya lelah menderanya dan kemudian berdiskusi dengan sebelahnya apakah sebaiknya langsung iqomah saja. Setelah dilakukan diskusi dicapai kesepakatan untuk segera menunaikan salat dengan Imam pengganti. Akhirnya salat dimulai tanpa dipimpin Imam utama namun dipimpin Imam yang lain. Salat berjalan khusyuk dari takbir hingga salam…salat selesai.

Dari kejadian tersebut terdapat beberapa nilai yang penting untuk dicermati pemuda-pemuda zaman sekarang. Di sini nampak bahwa orang-orang tersebut begitu mementingkan nilai musyawarah bahkan untuk memutuskan hal yang kecil sekalipun dilakukan dengan musyawarah sehingga keputusan yang diambil benar-benar merupakan kesepakatan bersama. Bahkan dari cerita di atas pak Bejo harus berkali-kali bermusyawarah untuk memutuskan kapan salat dimulai hanya karena sajadah Imam telah tergelar. Jelas kebersamaan sangat dijunjung tinggi oleh orang desa. 

Nilai penting yang lain adalah rasa hormat para jama’ah menunggu sang Imam yang patut di acungi jempol. Para jama’ah yang mengetahui sajadah Imam telah tergelar sejak sehabis maghrib berusaha untuk terus menunggu kedatangan sang Imam. Hal ini bisa terjadi karena rasa hormat yang tinggi dari jama’ah kepada sang Imam. Rasa menghormati yang tinggi kepada sang pemimpin. Karena rasa hormat yang tinggi inilah sampai dilakukan beberapa kali diskusi untuk dapat mulai dilakukan salat. Rasa hormat terhadap pemimpin ini telah banyak luntur dewasa ini, coba lihat anggota-anggota DPR yang sering menghujat presiden, menganggap apa saja yang dilakukannya selalu kurang tepat karena mementingkan kepentingan partainya sendiri. Sifat mementingkan diri sendiri dan tidak menghormati pemimpin sangat berlawanan dari kejadian di mushola tadi, masyarakat desa begitu memiliki rasa kebersamaan dan menghormati pemimpin hingga akhir. Banyak nilai yang dapat kita tangkap dari kehidupan sederhana di pedesaan yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, yang masih menjunjung tinggi nilai kesopanan.

0 komentar

Post a Comment